Senin, 29 Desember 2014

Kisah Bunga desa bertemu dengan seorang Qiro'at.

Dilahirkan di sebuah kampung kecil menjadi tantangan tersendiri bagiku, ya di kampung Babakan Pajagalan Kecamatan Garut kota Kelurahan Sukamentri Kabupaten Garut, dimana disebuah gubuk yang begitu padat dan hampir setiap rumah antara rumah satu dan yang lainnya saling berdempetan dan tepat di RW 5 RT 4 seorang anak laki-laki terlahir tentu dengan membawa tugas. Lahir sebagai anak sulung tentu tanggung jawabnya besar dan lebih menantang. Memiliki satu adik perempuan yang seharusnya ada empat, karena ibuku dulu setelah melahirkan aku dia mengalami hamil kembar dua kali. Jadi adik perempuanku yang masih ada sampai saat ini, dia kembar sejodo. Dan yang kedua kalinya ibu mengandung kembar lagi berjenis kelamin laki-laki dua-duanya. Namun sayang kedua adik jagoanku itu meninggal di usia seminggu. Oiya nama saya Ridwan Maulana hari sabtu adalah hari yang bersejarah bagiku, tepat tanggal 24 Maret tahun 1990 saya hadir di dunia, entah bidan siapa yang membantu ibuku melahirkan, eh.. btw dulu belum ada bidan kali ya? Haha… dulu sih namanya Paraji. Katanya sih aku waktu kecil ririwit banget, tau gak ririwit? Artinya gampang sakit-sakitan. Bahkan dulu aku hampir seminggu sekali harus check up ke dr.Ertina dan sampai sekarang dokter itu masih buka praktek yang beralamat di Jalan Ahmad Yani deket salah stu foto studio disana dan bahkan tempat praktenya aja persis kayak dulu,kebayangkan klasik banget tuh tempat. Sesekali aku sering kesana untuk sedikit mengenang masa masa rirwit.


Oke segitu dulu mungkin menceritakan tentang diriku, oiya keluargaku bisa disebut sederhana karena rumahku tak begitu besar bak istana yang penting bisa melindungi dari terik matahari dan hujan. Ayahku seorang pedagang dan ibuku sama pedagang. Sedikit aku akan menceritakan tentang ayahku dulu, ia adalah seorang santri di salah satu pesantren tempat ia dilahirkan yakni di kampung Ciparay Suci Kecamatan Karangpawitan Garut. Ia sesorang Qori’ seangkatan Muammar ZA, Chumaidi dan Qori-qori’ lainnya. Jujur saja aku bangga punya ayah seorang Qori’ yang katanya dulu sempat belajar bareng bersama Muammar, ayahku pernah bercerita tentang kehebatan Muammar ketika itu beliau pernah membacakan Al-Fatihah dalam satu tarikan nafas dengan liukan-liukan lagu dalam seni membaca Al-Qur’an. Kebayang gak? Pasti gak kebayang da gak liat langsung. Hehehe… Dan sekarangpun nama Mummar masih tetap terpatri, bahkan menjadi rujukan beberapa Qori’ dan Qori’ah dalam seni membaca Al-Qur’an, darisanalah ayahku sering mendapat tawaran untuk menjadi Qori’ dari mulai pengajian-pengajian dari kampung ke kampung hingga ke acara pernikahan dan khitanan hingga ia sering mengikuti lomba tilawatil Qur’an dari mulai tingkat kecamatan, kelurahan hingga kabupaten dan pernah juga menjadi peserta tilawatil Qur’an antar Provinsi. 

H. Muammar ZA Qori' terbaik Nasional

Dan dalam ajang tersebut ayahku bertemu kembali dengan teman lamanya yakni Muammar yang ternyata menjadi rivalnya, kebayang dong udah beberapa puluh tahun gak ketemu terus ketemu lagi dalam sebuah perlombaan dan menjadi lawan. Karena sudah merasa seperti saudara, tentu keduanya tidak menganggap satu sama lain sebagai musuh. Hingga akhirnya perlombaan tersebut dimenangkan oleh Muammar yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya, aku sempat bertanya pada ayahku “pa, zaman dulu udah ada kamera belum sih?” mungkin kalau zaman sekarang ketika ketemu dengan tokoh terkenal atau pesohor pasti difoto dan update di medsos. Hehehe… karena zaman dulu belum ada Facbook, Twitter, Instagram, BBM dan medsos lainnya. Ayahku menjawab “ada, cuman foto-fotonya gak tau kemana karena bapa gak dikasih fotonya sama orang yang moto. Hehe…” yaaa jadi gak bisa memperlihatkan bukti fisiknya kalau bapaku pernah menjadi rivalnya Muammar, tapi setidaknya dari cerita bapa aku bisa mengetahui cara belajarnya Muammar ketika sedang berlatih Qiro’at. Dari bakat dan track record ayahku setidaknya darah seni tilawatil Qur’an mengalir pada persendianku, sehingga ya aku bisalah sedikit-sedikit mh Qiro’at hehe… nati aku ceritain bagaimana perjalananku belajar tilawatil Qur’an. Itu tentang ayahku, oiya nama ayahku Nono Priyatno.
Sekarang aku akan bercerita tentang ibu. Ia terlahir dari orang tua yang berlatar belakang petani, nama ibuku seperti nama istri Rosul yakni Siti Aisyah hehe… tapi aku lihat di ijazahnya tertulis Aisyah, entah kenapa bisa begitu. Well, usia ibu dan ayahku terpaut jauh sekali hampir 10 tahun bedanya, tentu lebih tua ayahku. Ibuku juga seorang pedagang, kalau dulu ia menjajakan kue-kue basah atau gorengan di sebuah pabrik yang sekarang menjadi pabrik pembuatan bulu mata palsu yang terletak di dekat bundaran suci. Karena berdagangnya itu, aku jarang sekali mendapat kecupan manis yang hinggap di dahiku ketika berangkat ke sekolah bahkan sejak dari Taman Kanak-kanak, karena sebelum sekolah SD aku sekolah TK dulu mungkin sekarang ya semacam PAUD atau TK pada umunya zaman sekarang.

Lumayan cukup lama juga ibu berdagang di pabrik itu, sehingga ketika aku menginjak bangku Sekolah Dasar sudah terbiasa ketika berangkat sang ibu sudah gak ada di rumah, dan ayah pergi ke pasar untuk berdagang juga. Dulu ibu pernah bercerita ketika masa-masa gadisnya, mungkin kalau bahasa anak muda zaman sekarang playgirl. Ya ma mom was a playgirl. haha… itulah ibuku, karena sejak muda ia menjadi Bunga desa ketika itu hingga muncul kekhawatiran dari kakekku dan akhirnya kakek berniat menjodohkan ibu dengan ayahku dengan harapan mungkin anaknya akan lebih baik jika bersuamikan yang berlatar belakang seorang santri. Hingga dikenalkanlah ayahku kepada ibu oleh kakek yang ketika itu ia kenal ayah dari seorang temannya yang juga seorang sesepuh pesantren disana.

Dari sana ayah dan ibu saling mengenal hingga mereka bisa sampai saat ini menjalin rumah tangga yang SAMARA, tentu tidak mudah bagi ayah untuk meluluhkan hati ibu yang menjadi primadona desa kala itu. Ada satu kejadian yang unik dari pengalaman kedua orang tuaku, suatu hari ayah ya ceritanya ngapel ke rumah ibu dengan gaya serta dandanan zaman dulu taun 80an. Kedatangan ayah diketahui oleh ibu sehingga ibu langsung mengambil seribu langkah untuk menjauh dari ayah, karena dulu ibu gak mau dijodohkan dengan ayah, sehingga ia selalu menjauh dari ayah. Bahkan karena sering dijauhi oleh ibu, ayah sering menitipkan beberapa makanan untuk ibu. Baiknya ibu ketika mendapatkan makanan kecil dari ayah, selalu ia bagikan ke teman-teman satu gengnya hehe… bahkan kenakalan ibu zaman dulu pernah menjadi sebagai tukang palak laki-laki yang menyukainya, malak disini bukan berarti layaknya seorang preman atau pemalak di terminal, tapi ibu selalu mewakili suara teman-temannya untuk sekedar meminta makanan kecil. 

Begitulah kenakalan zaman ibu dulu Hahaha…, kembali ke kisah asmara kedua orang tuaku. Karena kelakuan ibu yang katanya selalu merebut pacar orang lain, hingga banyak sekali wanita lain memarahi ibu dan bahkan sampai bertengkar ala-ala perempuan zaman dulu. Darisanalah ibu mulai sadar akan kelakuannya sehingga kakek memutuskan untuk tidak terlalu sering mengijinkan ibu keluar rumah dan seiring waktu pula ibu menyadari bahwa kalau tidak menuruti keinginan orang tua akan menyebabkan hal yang tidak diinginkannya. Hingga akhirnya kedunya memutuskan untuk membangun rumah tangga yang bisa membahagiakan kedua orang tua mereka masing-masing. Dan Alhamdulillah hingga saat ini pernikahan kedua orang tuaku bahagia meskipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa kesalah pahaman diantara mereka. Kedua orang tuaku pernah berpesan, “kalau melakukan sesuatu harus libatkanlah Alloh meskipun diperjalanan pasti saja ada ujian dan tantangan. Tapi yakin ketika kita berada dalam aturan-Nya niscaya Ia akan senatiasa menolong hamba-Nya dengan cara yang tak pernah terpikirkan oleh kita.” Itu dulu ya yang bisa aku ceritain tentang orang tuaku, belum lagi tentang adikku, sampai ketemu di cerita selanjutnya see ya…. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

matur nuwun...