Oke segitu dulu mungkin menceritakan tentang diriku, oiya
keluargaku bisa disebut sederhana karena rumahku tak begitu besar bak istana
yang penting bisa melindungi dari terik matahari dan hujan. Ayahku seorang
pedagang dan ibuku sama pedagang. Sedikit aku akan menceritakan tentang ayahku
dulu, ia adalah seorang santri di salah satu pesantren tempat ia dilahirkan
yakni di kampung Ciparay Suci Kecamatan Karangpawitan Garut. Ia sesorang Qori’
seangkatan Muammar ZA, Chumaidi dan Qori-qori’ lainnya. Jujur saja aku bangga
punya ayah seorang Qori’ yang katanya dulu sempat belajar bareng bersama
Muammar, ayahku pernah bercerita tentang kehebatan Muammar ketika itu beliau
pernah membacakan Al-Fatihah dalam satu tarikan nafas dengan liukan-liukan lagu
dalam seni membaca Al-Qur’an. Kebayang gak? Pasti gak kebayang da gak liat
langsung. Hehehe… Dan sekarangpun nama Mummar masih tetap terpatri, bahkan menjadi
rujukan beberapa Qori’ dan Qori’ah dalam seni membaca Al-Qur’an, darisanalah ayahku
sering mendapat tawaran untuk menjadi Qori’ dari mulai pengajian-pengajian dari
kampung ke kampung hingga ke acara pernikahan dan khitanan hingga ia sering
mengikuti lomba tilawatil Qur’an dari mulai tingkat kecamatan, kelurahan hingga
kabupaten dan pernah juga menjadi peserta tilawatil Qur’an antar Provinsi.
H. Muammar ZA Qori' terbaik Nasional |
Dan dalam ajang tersebut ayahku bertemu kembali dengan teman lamanya yakni Muammar yang ternyata menjadi rivalnya, kebayang dong udah beberapa puluh tahun gak ketemu terus ketemu lagi dalam sebuah perlombaan dan menjadi lawan. Karena sudah merasa seperti saudara, tentu keduanya tidak menganggap satu sama lain sebagai musuh. Hingga akhirnya perlombaan tersebut dimenangkan oleh Muammar yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya, aku sempat bertanya pada ayahku “pa, zaman dulu udah ada kamera belum sih?” mungkin kalau zaman sekarang ketika ketemu dengan tokoh terkenal atau pesohor pasti difoto dan update di medsos. Hehehe… karena zaman dulu belum ada Facbook, Twitter, Instagram, BBM dan medsos lainnya. Ayahku menjawab “ada, cuman foto-fotonya gak tau kemana karena bapa gak dikasih fotonya sama orang yang moto. Hehe…” yaaa jadi gak bisa memperlihatkan bukti fisiknya kalau bapaku pernah menjadi rivalnya Muammar, tapi setidaknya dari cerita bapa aku bisa mengetahui cara belajarnya Muammar ketika sedang berlatih Qiro’at. Dari bakat dan track record ayahku setidaknya darah seni tilawatil Qur’an mengalir pada persendianku, sehingga ya aku bisalah sedikit-sedikit mh Qiro’at hehe… nati aku ceritain bagaimana perjalananku belajar tilawatil Qur’an. Itu tentang ayahku, oiya nama ayahku Nono Priyatno.
Sekarang aku akan bercerita tentang ibu. Ia terlahir dari
orang tua yang berlatar belakang petani, nama ibuku seperti nama istri Rosul
yakni Siti Aisyah hehe… tapi aku lihat di ijazahnya tertulis Aisyah, entah
kenapa bisa begitu. Well, usia ibu
dan ayahku terpaut jauh sekali hampir 10 tahun bedanya, tentu lebih tua ayahku.
Ibuku juga seorang pedagang, kalau dulu ia menjajakan kue-kue basah atau
gorengan di sebuah pabrik yang sekarang menjadi pabrik pembuatan bulu mata
palsu yang terletak di dekat bundaran suci. Karena berdagangnya itu, aku jarang
sekali mendapat kecupan manis yang hinggap di dahiku ketika berangkat ke
sekolah bahkan sejak dari Taman Kanak-kanak, karena sebelum sekolah SD aku
sekolah TK dulu mungkin sekarang ya semacam PAUD atau TK pada umunya zaman
sekarang.
Lumayan cukup lama juga ibu berdagang di pabrik itu,
sehingga ketika aku menginjak bangku Sekolah Dasar sudah terbiasa ketika
berangkat sang ibu sudah gak ada di rumah, dan ayah pergi ke pasar untuk
berdagang juga. Dulu ibu pernah bercerita ketika masa-masa gadisnya, mungkin
kalau bahasa anak muda zaman sekarang playgirl. Ya ma mom was a playgirl. haha… itulah ibuku, karena
sejak muda ia menjadi Bunga desa ketika itu hingga muncul kekhawatiran
dari kakekku dan akhirnya kakek berniat menjodohkan ibu dengan ayahku dengan
harapan mungkin anaknya akan lebih baik jika bersuamikan yang berlatar belakang
seorang santri. Hingga dikenalkanlah ayahku kepada ibu oleh kakek yang ketika
itu ia kenal ayah dari seorang temannya yang juga seorang sesepuh pesantren
disana.
Dari sana ayah dan ibu saling mengenal hingga mereka bisa
sampai saat ini menjalin rumah tangga yang SAMARA, tentu tidak mudah bagi ayah untuk
meluluhkan hati ibu yang menjadi primadona desa kala itu. Ada satu kejadian
yang unik dari pengalaman kedua orang tuaku, suatu hari ayah ya ceritanya
ngapel ke rumah ibu dengan gaya serta dandanan zaman dulu taun 80an. Kedatangan
ayah diketahui oleh ibu sehingga ibu langsung mengambil seribu langkah untuk
menjauh dari ayah, karena dulu ibu gak mau dijodohkan dengan ayah, sehingga ia
selalu menjauh dari ayah. Bahkan karena sering dijauhi oleh ibu, ayah sering
menitipkan beberapa makanan untuk ibu. Baiknya ibu ketika mendapatkan makanan
kecil dari ayah, selalu ia bagikan ke teman-teman satu gengnya hehe… bahkan
kenakalan ibu zaman dulu pernah menjadi sebagai tukang palak laki-laki yang
menyukainya, malak disini bukan berarti layaknya seorang preman atau pemalak di
terminal, tapi ibu selalu mewakili suara teman-temannya untuk sekedar meminta
makanan kecil.
Begitulah kenakalan zaman ibu dulu Hahaha…, kembali ke kisah
asmara kedua orang tuaku. Karena kelakuan ibu yang katanya selalu merebut pacar
orang lain, hingga banyak sekali wanita lain memarahi ibu dan bahkan sampai
bertengkar ala-ala perempuan zaman dulu. Darisanalah ibu mulai sadar akan
kelakuannya sehingga kakek memutuskan untuk tidak terlalu sering mengijinkan
ibu keluar rumah dan seiring waktu pula ibu menyadari bahwa kalau tidak
menuruti keinginan orang tua akan menyebabkan hal yang tidak diinginkannya.
Hingga akhirnya kedunya memutuskan untuk membangun rumah tangga yang bisa
membahagiakan kedua orang tua mereka masing-masing. Dan Alhamdulillah hingga
saat ini pernikahan kedua orang tuaku bahagia meskipun tidak menutup
kemungkinan ada beberapa kesalah pahaman diantara mereka. Kedua orang tuaku
pernah berpesan, “kalau melakukan sesuatu harus libatkanlah Alloh meskipun
diperjalanan pasti saja ada ujian dan tantangan. Tapi yakin ketika kita berada
dalam aturan-Nya niscaya Ia akan senatiasa menolong hamba-Nya dengan cara yang
tak pernah terpikirkan oleh kita.” Itu dulu ya yang bisa aku ceritain tentang
orang tuaku, belum lagi tentang adikku, sampai ketemu di cerita selanjutnya see ya…. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
matur nuwun...